PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telur
merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan dari unggas ( ayam, bebek,
itik ). Telur mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mudah dicerna. Telur
mempunyai struktur fisik yang dimulai dari kerabang telur yang berperan untuk
melindungi telur dari tekanan fisik dari luar, selaput telur, putih telur
kental, putih telur cair dan chalaza.
Karena
struktur fisik tersebut maka secara alamiah telur mempunyi daya simpan yang
relatif ( 2 – 3 minggu ) dan telur juga mempunyai pengawet alami yang cukup
potensial untuk melindungi dari kerusakan mikrobial.
Telur
mempunyai pengawet alami yang disebut dengan putih telur ( albumen ) yang
mempunyai kemampuan sebagai inhibitor ( penghambat ) bagi pertumbuhan
mikroorganisme, sehingga telur tidak cepat mengalami kerusakan atau penurunan
kualitas.
Ada
dua cara dalam pengawetan telur, yaitu pengawetan alami pada telur dan
pengawetan dengan penggaraman ( pembuatan telur asin dengan media cair dan
pembuatan telur asin dengan pembalutan ).
Pengemasan
adalah kegiatan untuk menampung, melindungi, menera, membawa dan memasarkan
produk dalam suatu wadah secara terencana. Yang dimaksud dengan pengertian
pengemasan diatas yaitu perlakuan terhadap bahan atau produk pangan mulai dari
pabrik sampai ketangan konsumen dapat dijaga dengan aman dan terjamin.
Pengemasan
yang dilakukan pada bahan atau produk telah diakui dapat memperpanjang umur
simpan dan mempertahankan kualitas bahan atau pangan tersebut dalam jangka
waktu tertantu. Secara umum kemampuan daya simpan dan kerusakan produk yang
dikemas tergantung pada dua hal, yaitu sifat alamiah produk dan kondisi
lingkungan.
Pengawetan
dengan pengemasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengemasan dengan pendinginan
dan pengawetan produk ternak. Selain pengawetan dengan pengemasan dapat
dilakukan juga pengawetan dengan pembekuan.
Agar
bahan makanan dapat disimpan dengan baik, maka dapat dilakukan pengawetan pada
bahan makanan tersebut. Pengawetan bahan makanan ada dua cara, yaitu pengawetan
dengan bahan kimia yang disebus merupakan sistem pengawetan terpadu yang
mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawetan dengan bantuan kontrol mikroba
atau fermentasi secara selektif. Curing digunakan untuk pengawetan daging,
sedangkan pikel untuk sayur – sayuran dan buah – buahan.
Pengawetan
dengan fermentasi digunakan untuk pengawetan susu segar yang ditambah dengan
bakteri starter Lactobacillus casei atau digantikan dengan yakult.
Air
merupakan komponen penting yang ada didalam bahan pangan, karena air yang ada dalam
bahan pangan akan mempengaruhi penampilan atau cita rasa bahan itu sendiri.
Maka
keberadaan air dalam bahan pangan ikut menentukan terhadap kualitas dan daya
tahan bahan pangan. Air dapat menjadi kurang atau tidak dapat digunakan denan
mengambilnya secara langsung ( seperti halnya dalam dehidrasi dan dehidrasi
beku ), atau dengan meningkatkan tekanan osmose ekstraseluler ( seperti dalam
prosessing ).
Jika
tidak dilakukan prosessing maka kerusakan akan terjadi dalam bahan pangan yang
diakibatkan oleh adanya air didalamnya dan kerusakan diakibatkan oleh
mikroorganisme yang banyak ditentukan oleh air ( aw ), yaitu jumlah air bebas
yang ada dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhan dan membantu krusakan.
Agar
bahn pangan tidak cepat rusak maka, dapat dilakukan pengawetan dengan
memperpanjang daya simpannya denan memperkecil atau menghilangkan air bebas
yang ada dalam bahan pangan.
Pengurangan
kadar air pada bahan pangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan
sinar matahari ( sun drying ) dan oven atau pengeringan buatan ( artificial
drying ).
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari praktikum ini adalah agar praktikan mengetahui bagaimana cara melakukan
pengawetan alami pada telur, pengawetan dengan penggaraman, pengawetan dengan
pengemasan, curing ( pengawetan dengan bahan kimia ), pengawetan dengan
fermentasi, pengawetan dengan pembekuan, pengawetan dengan pengeringan dan
penentuan kadar air dengan infrared digital moisture balance.
Manfaat
dari praktikum ini praktikan mengetahui dengan tepat cara pengawetan alami pada
telur, pengawetan dengan penggaraman, pengawetan dengan pengemasan, curin (
pengawetan dengan bahan kimia ), pengawetan dengan fermentasi, pengawetan
dengan pembekuan, pengawetan dengan pengeringan dan penentuan kadar air dengan
infrared digital moisture balance.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan dengan pengeringan
Pendapat Lawrie (2000) yang menyatakan
bahwa proses pengeringan dalam pembuatan dendeng ada dua cara, pengeringan
dengan sinar matahari dan pengeringan dengan oven yang dapat dijamin hygienis,
mutu, dan kekeringannya.
Pendapat Rasyaf (2001) pembuatan dendeng
ayam merupakan salah satu usaha pengawetan daging. Daging yang dibuat dendeng,
bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang baik dapat disimpan sampai 60 hari.
Pendapat Rasyaf (2005) untuk mempengaruhi
tingkat kadar air yang perlu dikeluarkan oleh arus udara panas ( yang digunakan
dalam proses ), maka perlu untuk mempunyai rasio permukaan : volume yang tinggi
dalam daging, oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus
Pendapat Murtidjo (2007) bahwa salah satu
metoda pengawetan pangan yaitu dengan cara menambahkan garam ke berbagai macam
makanan. Pengasapan dan pengeringan juga telah dilakukan secara luas dalam
kombinasinya dengan garam, terutama untuk produk daging dan ikan.
Pendapat Buckle (2005) penambahan garam dalam bahan pangan
mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme dengan suatu metoda yang bebas dari pengaruh racun.
Pengawetan alami pada telur
Pendapat Murtidjo, BA (2006),
yang menyatakan bahwa telur yang kulitnya bersih mulus dan kerabangnya coklat
menandakan ketebalan kerabang yang merupakan salah satu faktor daya tahan
simpan telur.
Pendapat Rasyaf, M (2007),
yang menyatakan bahwa telur sangat mudah mengalami kerusakan apalagi telur yang
sudah tidak mempunyai kerabang sehingga mikroba sangat mudh berkembang dalam
telur khususnya pada telur putih.
Pengawetan dengan penggaraman
Pendapat Soedjai (2005), yang menyatakan bahwa
pengawetan telur dapat dilakukan dentgan cara melapisi kulit telur dengan
pembungkus kering (dry packing), perendaman (immertion in liquid), penutupan
kulit dengan bahan pengawet (shell shealing) dan penyimpanan dalam ruangan
pendingin (coid store).
Pendapat Rasyaf, M (2009), yang menyatakan bahwa
pengawetan dengan cara merendam telur segar dalam cairan yang dapat menutup
pori-pori kulit, yang sekaligus juga bersifat antiseptik hal dari pengawetan
basah ini juga lebih bagus bila disimpannya ditempatkan diruang yang bersuhu
rendah.
Pendapat Soedjai (2005) yang menyatakan bahwa hasil
pengawetan akan terasa berbeda jika bahan dan cara pengolahannya juga berbeda.
Cita rasa ini dapat berupa warna, bau, rasa, dan tekstur yang dapat
meningkatkan tingkat kerusakan sehingga dapat meningkatkan penurunan konsumsi.
Pendapat Winarno (2006), yang menyatakan bahwa cita rasa
bahan pangan terdiri dari bau, rasa, dan rangsangan dari mulut, cita rasa telur
asin khas dapat disebabkan oleh faktor pemecahan senyawa dalam telur atau
fermentasi mikroba.
Pengawetan dengan bahan kimia (Curing)
Pendapat Winarto (2000) yang menyatakan
bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan menghasilkan warna
merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak dicuring.
Pendapat
Lawrie (2003)
yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat
pertumbuhan bakteri. Nitrit ini biasanya digunakan dalam curing daging yang
mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet.
Pendapat Anomymous (2006) yang
menyatakan bahwa tujuan dari curing ini yaitu untuk mempertahankan warna merah
daging ataupun ikan, memberi rasa pada daging dan ikan, dan sebagai pengawetan.
Pengawetan dengan fermentasi
Pendapat Buckle (2008) yang menyatakan
bahwa fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi
akan lebih bagus dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi.
Pendapat
Gaman (2001)
yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus casei dalam proses
fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen, sehingga produk akan
tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan akan menghasilkan rasa
asam pada produk.
Pengawetan dengan pengemasan
Pendapat Robert (2009), yang menyatakan
bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat menyebabkan kerusakan apabila
terlalu lama disimpan.
Pendapat
Hadi wiyoto (2007), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas
bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun
sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
Pendapat Piliang (2005), yang menyatakan
bahwa cara mempertahankan klualitas susu
dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi
pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30
menit.
Pendapat Bambang, S (2007), yang menyatakan
bahwa pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada
disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Pengawetan dengan pembekuan
Pendapat Anonymous (2006), ytang menyatakan
bahwa suatu bahan pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit
akan mengalami perbedaan berat bahan tersebut.
Pendapat
Lawrie (2007),
yang menyatakan bahwa pada ruangna terbuka bahan akan mengalami perubahan yang
berupa adanya penguaoan yang dapat menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
MATERI DAN METODA
Waktu dan Tempat
Praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak ini dilaksanakan setiap hari
Selasa mulai tanggal 12 April sampai tanggal3 Mei 2011 pukul 14.00 sd selesai
bertempat di Laboratorium Pengelolaan Hasil Ternak Gedung C Fakultas Peternakan
Universitas Jambi.
Materi
Pengawetan dengan pengeringan
Alat dan bahan yang digunakan pada
praktikum ini yaitu daging ayam 300 gr, bawang putih 6 gr, ketumbar 9 gr, gula
merah 90 gr, garam 9 gr, asam jawa 3 gr, food processor, pisau, talenan, baskom, plastik, daun pisang, dan oven.
Pengawetan alami pada telur
Alat dan bahan yang digunakan pada
praktikum ini yaitu telur ayam ras, piring, minyak goreng, dan penggorengan.
Pengawetan dengan penggaraman
Alat
dan bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu telur itik 5 butir, garam
halus, kapur sirih, air matang yamg telah dingin, amplas, sabut, dan ember
kecil.
Pengawetan dengan bahan kimia (Curing)
Alat dan bahan yang digunakan pada
praktikum ini yaitu daging sapi, garam dan gula pasir, air, sodium nitrat,
pisau, timbangan dan botol.
Pengawetan dengan fermentasi
Alat dan bahan yang digunakan pada
praktikum ini yaitu susu segar, yakult, susu bubuk, gula, panci, kompor, botol
dan alat pengaduk.
Pengawetan dengan pengemasan
Alat dan bahan yang digunakan pada
praktikum ini yaitu daging, plastik poli etilen, pisau, refrigerator, dan
perekat plastik.
Pengawetan
dengan pembekuan
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum
ini yaitu daging ayam, freezer, refrigerator, telenan, termometer, plastik,
pisau, dan timbangan ohaus.
Metoda
Pengawetan dengan pengeringan
Pengawetan dengan pengeringan, yang
dilakukan adalah memisahkan daging ayam dari tulang, kulit dan lemak, kemudian
dicacah dan dihaluskan dengan food prosessor, haluskan semua bumbu yang
tersedia kemudian dicampur dengan daging ayam dalam food prosessor, siapkan
daun pisang dengan permukaan atasnya di lumurin dengan minyak sayur, kemudian
buat lapisan tipis adonan dendeng diatas permukaan daun pisang, karingkan dalam
oven dengan dua perlakuan, yaitu dendeng dikeringkan dalam oven selama 36 jam
pada suhu 60 c dan dendeng kedua dikeringkan dalam oven selama 72 jam pada suhu
40 c, kemudian ukur kadar air dengan memanaskan botol timbang dalam oven 105 c
selama ½ jam, kemudian masukkan dalam desikator dan tutup rapat kemudian
ditimbang, masukkan sampel seperlunya kedalam botol timbang, kemudian timbang
dan catat berat botol beserta sampel, kemudian masukkan dan panaskan botol
timbang dalam oven pada suhu 105 c selama 24 jam, kemudian ambil dan dinginkan
dalam desikator dan selanjutnya ditimbang catat beratnya, kemudian hitung kadar
air bahan.
Pengawetan alami pada telur
Pengawetan
alami pada telur pertama kali yang dilakukan adalah menyiapkan empat butir
telur, masing – masing telur diberi tanda sesuai dengan perlakuan, yaitu T – 1
telur dibiarkan utuh, T – 2 telur dipecahkan dan dimasukkan kedalam piring, T –
3 telur di rebus selama 10 menit dikupas dan diletakkan diatas piring, T – 4
telur di goreng mata sapi, semua telur di masukkan kedalam lemari dengan suhu
kamar dan amati perlakuan tersebut sehari dua kali selama lima hari.
Pengawetan dengan penggaraman
Pengawetan
dengan penggaraman, yaitu pembuatan telur asin dengan media cair yang dilakukan
adalah telur dicuci dengan air dan digosok dengan sabut, kemudian dilap dengan
kain kering, kerabang telur diamplas, telur direndam dalam laruran garam ( air
: garam = 3 : 1 ), tambahkan sedikit kapur, kemudian disimpan dalam ember yand
ditutup selama 8 – 10 hari dan terakhir direbus. Sedangkan pembuatan telur asin
dengan pembalutan adalah telur dibersihkan, buat larutan teh ( air : teh = 1
liter : 60 gram teh, kemudian buat campuran antara garam halus, serbuk batu
bata dan abu gosok dengan perbandingan 4 : 3 : 3, campuran tersebut dibuat
menjadi pasta dengan menambah larutan teh, telur di bungkus dengan pasta tadi,
simpan pada ember dan ditutup rampat selama 8 – 10 hari, kemudian rebus hingga
masak dan bandingkan hasilnya dengan cara basah.
Pengawetan dengan bahan kimia (Curing)
Curing ( pengawetan dengan bahan kimia
), yang dilakukan adalah menyiapkan dua potong daging masing – masing 100 gram,
buat larutan yang terdiri atas 7,26 gram garam, 2,70 gram gula, 0,23 gram
sodium nitrat dan 45,5 ml air, dan buat larutan lain tanpa sodium nitrat,
masukkan masing – masing daging dalam larutan tersebut, simpan dalam suhu
refrigerator selama tujuh hari dan amati perubahan yang terjadi.
Pengawetan dengan fermentasi
Pengawetan dengan fermentasi, yang
dilakukan adalah siapkan satu liter susu dan dipanaskan sampai mendidih sambil
diaduk, kemudian diangkat, tambahkan susu bubuk, kemudian dinginkan dan susu
dibagi menjadi tiga bagian : susu YK – ditambah yakult dua sendok teh, YK – 2
ditambak yakult tiga sendok teh, YK – 3 ditambah yakult empat sendok teh,
masukkan kedalam botol yang tertutup rapat biarkan pada suhu kamar dan disimpan
selama 12 – 14 jam, amati perubahan yang terjadi selama proses fermentasi,
kemudian lakukan uji organoleptik.
Pengawetan dengan pengemasan
Pengawetan
dengan pengemasan pertamakali yang dilakukan adalah Pengemasan dengan
pendinginan yaitu, menyiapkan daging sapi dua potong dengan ukuran 5 x 10 cm,
daging disimpan dalam refrigerator pada suhu rendah ( 1 – 10 c ) dengan
ketentuan daging I daging dimasukkan dalam plastik poli etilen dan rekatkan,
daging II daging dibiarkan terbuka dalam refrigerator,amati perubahan yang
terjadi pada daging setiap hari selama lima hari, daging diukur dan ditentukan
kadar air masing – masing daging. Sedangkan pengemasan produk ternak yang
dilakukan, yaitu menyiapkan susu segar sebanyak 0,5 liter, pasteurisasi susu
tersebut pada suhu 72 c selama 15 detik, susu dimasukkan kedalam empat botol,
dua botol disimpan pada suhu kamar, dua botol disimpan suhu rendah, salah satu
dari botol tutupnya dibuka dalam masing – masing penyimpanan, amati perubahan
yang terjadi pada susu setiap 8 jam selama 2 hari.
Pengawetan dengan pembekuan
Pengawetan
dengan pembekuan, yang dilakukan adalah karkas ayam dibelah menjadi dua bagian,
yaitu karkas kiri dan karkas kanan, timbang masing masing irisan karkas selanjutnya masukkan
dalam kemasan plastik dan beri tanda, kemasan dimasukkan kedalam freezer selama
48 jam, setelah lunak keluarkan irisan karkas dari kemasan plastik dan
ditimbang hitung dripp irisan karkas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengawetan dengan pengeringan
Hasil yang didapat dari praktikum
pengawetan dengan pengeringan yaitu sebagai berikut :
Perlakuan
Pengeringan
|
Kode
Sampel
|
Berat (gram)
|
Kadar
Air (%)
|
|||
W
|
W1
|
W2
|
||||
Suhu 60o C selama 36 jam
|
C1
|
14,569
|
14,626
|
14,625
|
1,78
|
|
C2
|
14,967
|
15,031
|
15,003
|
77,77
|
||
Suhu 40o C selama 70 jam
|
C3
|
14,811
|
14,903
|
14,882
|
29,57
|
|
C4
|
10,442
|
10,557
|
10,542
|
15
|
||
Setelah
daging ayam diolah menjadi dendeng, maka didapat hasil seperti tabel diatas.
Untuk mengukur kadar air yang terdapat pada daging ayam olahan yaitu dengan
suhu 600C selama 36 jam dan suhu 40oC selama 70 jam. Sesuai
dengan pendapat Lawrie (2000) yang menyatakan bahwa proses pengeringan dalam
pembuatan dendeng ada dua cara, pengeringan dengan sinar matahari dan
pengeringan dengan oven yang dapat dijamin hygienis, mutu, dan kekeringannya.
Menurut Rasyaf (2001) pembuatan dendeng ayam merupakan salah satu usaha pengawetan daging.
Daging yang dibuat dendeng, bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang baik
dapat disimpan sampai 60 hari.
Dari
diatas dapat dilihat bahwa pengeringan dendeng dengan menggunakan suhu 600C
selama 36 jam kadar airnya lebih banyak dibandingkan dengan kadar air pada
pengeringan suhu 40oC selama 70 jam. Hal ini bisa saja karena sampel
untuk pengeringan suhu 60oC lebih berat dan lebih tebal dibandingkan
dengan sampel untuk pengeringan suhu 40oC, sehingga kandungan air
pada sampel untuk pengeringan suhu 60oC lebih banyak dan lebih lama keringnya
dibandingkan dengan sampel suhu 40oC. Dua macam metode pengeringan
ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kadar air dari masing-masing
perlakuan. Menurut Rasyaf (2006) untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang perlu
dikeluarkan oleh arus udara panas ( yang digunakan dalam proses ), maka perlu
untuk mempunyai rasio permukaan : volume yang tinggi dalam daging, oleh karena
itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Pembuatan
dendeng ini bertujuan untuk memperpanjang masa simpan pangan ( mengontrol kadar
air ) yang didalam prosesnya telah ditambahkan garam. Garam ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air pangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (2007) bahwa salah satu
metoda pengawetan pangan yaitu dengan cara menambahkan garam ke berbagai macam
makanan. Pengasapan dan pengeringan juga telah dilakukan secara luas dalam
kombinasinya dengan garam, terutama untuk produk daging dan ikan. Menurut Buckle (2005) penambahan garam dalam bahan pangan
mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan pertumbuhan
mikroorganisme dengan suatu metoda yang bebas dari pengaruh racun.
Pengawetan alami pada telur
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan pada pengawetan alami pada telur didapatkan
hasil sebagai berikut :
Peubah
|
Perlakuan
|
Pengamatan hari ke-
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
Bau
|
T1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T2
|
Anyir
|
Busuk
|
-
|
-
|
-
|
|
T3
|
Normal
|
Asam
|
Busuk
|
-
|
-
|
|
T4
|
Tetap
|
Tetap
|
Mulai busuk
|
Busuk
|
-
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Warna
|
T1
|
Tetap
|
Tetap
|
Tetap
|
Tetap
|
Tetap
|
T2
|
Tetap
|
Pudar
|
-
|
-
|
-
|
|
T3
|
Putih
|
Agak pudar
|
Kecoklatan
|
-
|
-
|
|
T4
|
Tetap
|
Tetap
|
Mulai coklat
|
Hitam
|
-
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Viscositas
|
T1
|
Tetap
|
Tetap
|
Tetap
|
Tetap
|
Tetap
|
T2
|
Tetap
|
Mulai encer
|
-
|
-
|
-
|
|
T3
|
Tetap
|
Tetap
|
Ada jamur
|
-
|
-
|
|
T4
|
Tetap
|
Menyusut
|
Ada jamur
|
-
|
-
|
Dari
tabel diatas dapat diketahui bahwa telur yang mempunyai daya simpan lebih lama
yaitu T1 (telur yang masih utuh) dibandingkan dengan T2, T3, dan T4. karena
pada telur yang utuh mempunyai struktur kerabang yang berperan sebagai pengawet
alami serta dapat melindungi telur dari tekanan fisik dan mikroorganisma.
Sedangkan T2 (telur yang dipecah), T3 (telur yang direbus) dan T4 (telur yang
digoreng) sudah mengalami pengolahan sehingga telur mudah mengalami kerusakan
dan juga adanya suhu, temperatur, pada saat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo, BA (2006), yang menyatakan
bahwa telur yang kulitnya bersih mulus dan kerabangnya coklat menandakan
ketebalan kerabang yang merupakan salah satu faktor daya tahan simpan telur.
Sampel T2 adalah
sampel yang paling cepat mengalami kerusakan diantara sampel-sampel yang lainya
karena bahan pengawet yang terdapat pada telur sudah tidak bekerja lagi dan
mikroorganisme mudah masuk apalagi ditempat terbuka. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rasyaf, M (2007), yang menyatakan bahwa telur sangat mudah mengalami
kerusakan apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang sehingga mikroba
sangat mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur putih.
Pengawetan dengan penggaraman
Pada praktikum ini didapatkan hasil sebagai berikut :
Penggaraman
|
Unit
telur
|
Bobot
awal (gr)
|
Bobot
akhir (gr)
|
Penyusutan
(%)
|
Volume
|
basah
|
1
|
68,89
|
68,49
|
0,4
|
275
|
2
|
62,02
|
61,76
|
0,26
|
270
|
|
3
|
64,74
|
64,70
|
0,04
|
260
|
|
|
4
|
62,96
|
62,90
|
0,06
|
270
|
|
|
|
|
|
|
Kering
|
1
|
45
|
61,95
|
13,05
|
260
|
2
|
42
|
65,08
|
23,08
|
255
|
|
3
|
45
|
65,59
|
20,59
|
260
|
|
|
4
|
46
|
66
|
20
|
260
|
Dari tabel diatas
dapat diketahui bahwa bahwa pada pennggaraman basah telur 1 dan 2 mengalami
penambahan bobot telur sedangkan telur 3 mengalami penyusutan, hal ini
dikarenakan telur 1 dan 2 kemungkinan retak sehingga air garam mudah masuk
kedalam telur sehingga telur mengalami penambahan pada bobot akhir. Pada
penggaraman telur kering justru telur 1 dan 2 mengalami penyusutan sedangkan
pada telur 3 mengalami penambahan bobot akhir karena telur tersebut retak.
Salah satu cara
untuk mempertahankan mutu telur dalam waktu relatif lama adalah dengan cara
pengawetan, pengawetan ini bisa diusahakan dengan pengawetan biasa atau
pengawetan yang disertai dengan proses pengolahan. Pengawetan telur dapat
dilakukan denga cara kering, perendaman, dan penutupan kulit. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soedjai (2005), yang menyatakan bahwa pengawetan telur dapat
dilakukan dentgan cara melapisi kulit telur dengan pembungkus kering (dry
packing), perendaman (immertion in liquid), penutupan kulit dengan bahan
pengawet (shell shealing) dan penyimpanan dalam ruangan pendingin (coid store).
Pengawetan dengan
cara basah dapat dilakuakn dengan cara merendam telur pda air yang sudah
ditambahkan dengan garam, dengan cara ini kualitas telur bisa dapat di
pertahankan kesegarannya sampai satu setengah bulan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Rasyaf, M (2009), yang menyatakan bahwa pengawetan dengan cara
merendam telur segar dalam cairan yang dapat menutup pori-pori kulit, yang
sekaligus juga bersifat antiseptik hal dari pengawetan basah ini juga lebih
bagus bila disimpannya ditempatkan diruang yang bersuhu rendah.
Tabel pengamatan
cita rasa pada pengawetan dengan penggaraman :
Penggaraman
|
Nilai
Hedonik
|
Bau
|
Warna
|
Tekstur
|
Rasa
|
||||
Alb
|
Yolk
|
Alb
|
Yolk
|
Alb
|
Yolk
|
Alb
|
Yolk
|
||
Basah
|
Sangat
suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Suka
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
Biasa/netral
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tidak
suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sangat
tidak suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kering
|
Sangat
suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Suka
|
|
|
|
|
√
|
√
|
|
|
|
Biasa/netral
|
|
|
√
|
√
|
|
|
√
|
|
|
Tidak
suka
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
Sangat
tidak suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dari tabel di atas
dapat diketahui bahwa pengawetan dengan penggaraman pada metode basah lebih
banyak disuakai baik warna bau, rasa dan tekstur dibandingkan dengan pengawetan
penggaraman dengan metode kering. Citarasa dari kedua sampel dengan metode
berbeda ini juga menghasilkan hasil yang berbeda pula. Hal ini bisa di sebabkan
oleh cara pengolahan dan bahan yang digunakan pada pengolahan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Soedjai (2005) yang menyatakan bahwa hasil pengawetan akan
terasa berbeda jika bahan dan cara pengolahannya juga berbeda. Cita rasa ini
dapat berupa warna, bau, rasa, dan tekstur yang dapat meningkatkan tingkat
kerusakan sehingga dapat meningkatkan penurunan konsumsi.
Dan pendapat Winarno (2006), yang menyatakan bahwa cita rasa bahan
pangan terdiri dari bau, rasa, dan rangsangan dari mulut, cita rasa telur asin
khas dapat disebabkan oleh faktor pemecahan senyawa dalam telur atau fermentasi
mikroba.
Pengawetan dengan bahan kimia (Curing)
Hasil yang didapat dari praktikum curing yaitu :
Perlakuan
Daging
|
Perubahan Warna Pada Hari Pengamatan ke
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Tanpa Nitrat
|
Merah Pucat
|
Merah
|
Pucat
|
Pucat
|
Pucat
|
Diberi Nitrat
|
Merah Hati
|
Merah
|
Masih merah
|
Tetap merah
|
Tetap merah
|
Dari
data diatas dapat diketahui pada hari kelima, daging tanpa nitrat masih
berwarna merah, sedangkan pada daging yang diberi nitrat berwarna kehitaman
pucat. Padahal telah diketahui bahwa daging yang dicuring (dengan nitrat) warna
merah daging akan tetap bertahan. Hal tersebut tidak sesuai dengan pendapat
Winarto (2006)
yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan
menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak
dicuring.
Daging-daging
yang dicuring akan lebih awet dibandingkan dengan daging tanpa pengolahan.
Karena proses curing ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lawrie (2005) yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam
curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nitrit ini biasanya
digunakan dalam curing daging yang mengandalkan kekuatan garam sebagai
pengawet. Sesuai juga dengan pendapat Anomymous (2006) yang menyatakan bahwa
tujuan dari curing ini yaitu untuk mempertahankan warna merah daging ataupun ikan,
memberi rasa pada daging dan ikan, dan sebagai pengawetan.
Pengawetan dengan Fermentasi
Pengamatan
|
Perlakuan
|
||
YK-I
|
YK-II
|
YK-III
|
|
Warna
|
Lapisan atas putih, bawahnya kuning
|
Bening
|
Agak kuning
|
Bau/aroma
|
Agak asam
|
Susu asam
|
Bau asam menyengat
|
Kekentalan
|
Bagian atas kental, bawah cair
|
Bagian atas ada sedikit gumpalan
|
Bagian atas kental
|
Rasa
|
Kurang asam
|
Asam
|
Asam
|
Dari
data diatas dapat diketahui bahwa YK-III merupakan hasil fermentasi yang baik
jika dibandingkan dengan susu YK-I dan YK-II, karena mempunyai warna agak
kuning, bau asam yang menyengat dan rasa asam. Hal tersebut karena pada susu
YK-III ditambahkan dengan 4 sendok teh yakult, sehingga bakteri Lactobacillus
casei yang ditambah kedalam susu lebih banyak dibandingkan dengan yakult
yang ditambahkan pada YK-1 dan YK-II. Sehingga pada YK-III akan menghasilkan
hasil fermentasi yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Buckle (2005) yang menyatakan
bahwa fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi
akan lebih bagus dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi.
Susu
yang difermentasi ini akan lebih tahan lama, karena peranan Lactobacillus
casei dalam fermentasi yaitu untuk menekan pertumbuhan baketri phatogen.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gaman (2006) yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus
casei dalam proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen,
sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan
akan menghasilkan rasa asam pada produk.
Pengawetan dengan pengemasan
a. Pengemasan dengan pendinginan
Pengamatan
|
Daging
|
Pengamatan pada hari ke
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
Warna
|
I
|
Merah hati
|
Merah
|
Merah pucat
|
Kehitaman
|
Hitam
|
II
|
Merah hati
|
Merah kehitaman
|
Hitam
|
Hitam
|
Hitam
|
|
Tekstur
|
I
|
Normal
|
Keras
|
Keras
|
Lembek
|
Lembek
|
II
|
Normal
|
Keras
|
Keras
|
Keras
|
Keras
|
|
Konsistensi
|
I
|
Padat
|
Kasar
|
Liat
|
Liat
|
Liat
|
II
|
Padat
|
Liat
|
Liat
|
Liat
|
Kasar
|
|
Kadar air
|
I
|
Normal
|
Banyak
|
Banyak
|
Banyak
|
Agak sedikit
|
II
|
Normal
|
Sedikit
|
Sedikit
|
Kering
|
Kering
|
Dari
tabel diatas dapat diketahui bahwa pada pengemasan dengan pendinginan pada
daging semakin hari mengalami penurunan kualitas. Seperti pada warna semakin
hari semakin hitam begitu juga yang terjadi pada tekstur, konsistensi, dan
kadar air semakin hari juga semakin sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi
dan tempat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert (2009), yang menyatakan
bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat menyebabkan kerusakan apabila
terlalu lama disimpan.
Kondisi
pada saat penyimpanan juga sangan berpengaruh, selain dapat menghambat
perubahan juga dapat mempertahankan kualitas produk. Yang perli diperhatikan
yaitu suhu, kelembaban serta kandungan oksigen. Tetapi lama kelamaan bahan akan
mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi wiyoto (2007), yang menyatakan
bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya
sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun sudah ada proses
pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
b. Pengemasan produk ternak
suhu kamar
Pengamatan
|
Waktu (jam)
|
Bentuk penyimpanan
|
Hari ke
|
|
1
|
2
|
|||
Warna
|
8
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Putih susu
|
Putih susu
|
||
16
|
Terbuka
|
Terdapat lapisan dan endapan
|
Putih susu
|
|
Tertutup
|
Terdapat lapisan dan endapan
|
Putih susu
|
||
24
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Krem susu
|
|
Tertutup
|
Krem susu
|
Putih susu
|
||
Bau
|
8
|
Terbuka
|
Busuk
|
Bau basi
|
Tertutup
|
Asam
|
Bau basi
|
||
16
|
Terbuka
|
Busuk
|
Busuk
|
|
Tertutup
|
Bau susu basi
|
Bau basi
|
||
24
|
Terbuka
|
Busuk
|
Busuk
|
|
Tertutup
|
Busuk
|
Busuk
|
||
Tekstur
|
8
|
Terbuka
|
Terjadi pemisahan antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Tertutup
|
Lebih banyak skim
|
Banyak skim
|
||
16
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
|
Tertutup
|
Banyak skim mengental
|
Banyak skim kental
|
||
24
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
|
Tertutup
|
Lebih mengental
|
Mengental
|
||
Konsistensi
|
8
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
Tertutup
|
Menyebar
|
Menyebar
|
||
16
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
|
Tertutup
|
Menyebar
|
Menyebar
|
||
24
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Kental
|
|
Tertutup
|
menyebar
|
Lebih kental
|
Dari tabel tersebut
dapat diketahui bahwa susu pasteurisasi yang diletakan pada suhu kamar memiliki
warna putih susu. Dari segi bau susu yang tertutup mudah cepat basi
dubandingkan drengan yang terbuka. Susu yang dipasteurisasi akan lebih tahan
lama dibandingkan susu yang segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Piliang (2005), yang menyatakan
bahwa cara mempertahankan klualitas susu
dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi
pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30
menit.
Suhu rendah (Refrigerator)
Pengamatan
|
Waktu (jam)
|
Bentuk penyimpanan
|
Hari ke
|
|
1
|
2
|
|||
Warna
|
8
|
Terbuka
|
Susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Susu
|
Putih susu
|
||
16
|
Terbuka
|
Krem
|
Putih susu
|
|
Tertutup
|
Krem
|
Putih susu
|
||
24
|
Terbuka
|
Putih
susu
|
Putih susu
|
|
Tertutup
|
Putih
susu
|
Putih susu
|
||
Bau
|
8
|
Terbuka
|
Bau susu
|
Bau susu
|
Tertutup
|
Sedikit amis
|
Amis
|
||
16
|
Terbuka
|
Bau susu
|
Bau susu
|
|
Tertutup
|
Sedikit amis
|
Amis
|
||
24
|
Terbuka
|
Bau susu
|
Amis
|
|
Tertutup
|
amis
|
Amis
|
||
Tekstur
|
8
|
Terbuka
|
Cair
|
Cair
|
Tertutup
|
Sedikit padat
|
Padat
|
||
16
|
Terbuka
|
Cair
|
Cair
|
|
Tertutup
|
Sedikit padat
|
Padat
|
||
24
|
Terbuka
|
Cair
|
Cair
|
|
Tertutup
|
Padat
|
Padat
|
||
Konsistensi
|
8
|
Terbuka
|
Ada pembatas minyak
|
Lebih banyak
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
||
16
|
Terbuka
|
Sedikit
|
Banyak
|
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
||
24
|
Terbuka
|
Sedikit
|
Banyak
|
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
Dari
tabel tersebut dapat diketahui bahwa susu yang disimoan pada suhu kamar akan
mudah basi dan terkontaminasi sedangkan pada suhu refrigerator dapat
memperlambat kerusakan meskipun kecil dan penggumpalan atau pengentalan
merupakn salah satu sifat susu yang khas, penggumpalan dapat disebabkan oleh
kegiatan enzim dan penambahan asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang, S (2007), yang menyatakan
bahwa pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada
disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat
Pengawetan dengan pembekuan
Hasil yang didapat pada praktikum
pengawetan dengan pembekuan adalah sebagai berikut :
Irisan/bagian karkas ayam
|
Temperatur Thawing
|
Bobot irisan karkas (gr)
|
% Dripp
|
|
Awal
|
Akhir
|
|||
Sayap
|
Suhu kamar
|
39
|
39,48
|
1,.23
|
Refrigerator
|
56,9
|
57
|
0,17
|
|
Punggung
|
Suhu kamar
|
64,7
|
65,02
|
0,4
|
Refrigerator
|
65,7
|
64
|
-2,58
|
|
Dada
|
Suhu kamar
|
68,6
|
67
|
-2,33
|
Refrigerator
|
122
|
123
|
0,87
|
|
Paha atas
|
Suhu kamar
|
52
|
52
|
0
|
Refrigerator
|
64,29
|
64,75
|
0,73
|
|
Paha bawah
|
Suhu kamar
|
42
|
40
|
-4,76
|
Refrigerator
|
46
|
45
|
-2,17
|
Dari
tabel diatas dapat diketahui bahwa pada setiap karkas / bagian karkas berbeda
antara yang satu dengan yang lainya. Bahkan antara temperatur suhu kamar dan
suhu refrigerator juga berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena banyakya kadar
air yang terkandung didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonymous (2006), ytang menyatakan
bahwa suatu bahan pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit
akan mengalami perbedaan berat bahan tersebut.
Antara
daging yang disimpan disuhu kamar dan suhu refrigerator juga bebeda dimana pada
suhu refrigerator berat drippnya lebih banyak dari pada disuhu kamar. Hal ini
terjadi karena dalam suhu kamar bahan akan kering karena adanya penguapan,
sedangkan pada suhu refrigerator akan terjadi pembekuan yang dapat menampung
air. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2007), yang menyatakan bahwa pada ruangna terbuka
bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguaoan yang dapat
menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan melakukan percobaan
pengawetan,maka kita dapat mengetahui berbagai factor pengawet dan bahan-bahan
apa saja yang dapat dijadikan bahan pengawet.
Saran
Semoga kedepannya
praktikum ini menjadi lebih baik dan praktikannya dapat tertib dan teratur bila
di dalam laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2007. Freezer Dryer. http://www.Ilshine Urope . com/ products/freezer
dryer.html.
Bambang, S.2007.
Produk-Produk Susu. Kanisius. Jakarta.
Buckle. 2005. Ilmu
Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Gaman, S. 2006. Ilmu
Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Hadiwiyoto, S.
2007. Hasil- Hasil Olahan Susu, Telur dan Daging. Liberty. Jakarta
Lawrie. 2005.
Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta.
Murtidjo, BA. 2007.
Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Jakarta
Piliang. 2005. Pengelolaan
Hasil Ternak. IPB. Bandung
Rasyaf, M. 2005. Pengelolaan Uasaha Oeternakan
Ayam Pedaging. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
_________ .
2006. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta
_________ .
2007. Beternak Itik Komersial. Kanisius. Yogyakarta
Robert. 2009. Evaluasi
Gizi dan Kerusakan Bahan Pangan. ITB. Bandung
Soeparno. 2006. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Soedjai. 2005.
Beternak Itik. Masa Balai Bandung. Bandung
Winarto. 2006. Pencegahan
Kerusakan Bahan Pangan. Pustaka Media. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar