One Village One Product Movement (Gerakan OVOP) pertama kali dicetuskan oleh Morihiko Hiramatsu saat menjabat
sebagai Gubernur Prefektur Oita di timur laut Pulau Kyushu. Masa jabatannya di
Oita selama 6 periode (1979-2003) benar-benar digunakan untuk mengentaskan
kemiskinan warganya dengan menerapkan konsepsi pembangunan wilayah hasil buah
pikirannya itu.
Gerakan OVOP kemudian secara pesat memberikan kontribusi sangat besar bagi
pengembangan regional di Prefektur Oita. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan
produk yang diterima global dengan tetap memberikan keistimewaan pada invensi
nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat.
Sampai pada tahun 2002, Prefektur Oita yang terdiri dan 11 kota dan 47
kabupaten, telah mengembangkan 336 jenis produk OVOP. Pendapatan asli daerah
pun meningkat dan 36 miliar yen menjadi 141 miliar yen. Prefektur Oita juga
menjadi magnet bagi 10 juta wisatawan yang berkunjung per tahun dengan
3.8 juta wisatawan - termasuk studi banding petani/pejabat dan negara
berkembang - mengunjungi Kota Yufuin, sebagai kota pelopor Gerakan OVOP.
Gerakan OVOP telah
diperkenalkan dan diaplikasikan secara meluas di seluruh dunia. Beberapa contoh
kegiatan yang mengadaptasi konsep OVOP tampak dalam tabel berikut:
No.
|
Kegiatan
|
Negara
|
Contoh Produk
|
1
|
One Factory One Product
|
China
|
Kerajinan kayu
|
2
|
One Barangay One Product
|
Philipina
|
-
|
3
|
Satu Kampung Satu Produk Movement
|
Malaysia
|
-
|
4
|
One Tambon One Product Movement
|
Thailand
|
hasil laut
|
5
|
One Village One Product a Day
|
USA
|
-
|
6
|
One Village One Product
|
Malawi
|
jamur
|
Pendekatan Endogenus
& Gross National Satisfaction (GNS)
Sejatinya Gerakan One Village One Product adalah
upaya mereduksi jurang pemisah kegiatan pembangunan di kota dan pedesaan dengan
mengembangkan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal. Gubernur Hiramatsu
mengamati betapa daya tarik pembangunan di perkotaan menjadi magnet penarik
bagi penduduk perdesaan sehingga desa menjadi sepi dan kehilangan vitalitas
kegiatan ekonomi. Ia kemudian berupaya menghidupkan kembali vitalitas kehidupan
perdesaan lewat kegiatan ekonomi yang sesuai skala dan ukuran perdesaan tanpa
ketergantungan tinggi terhadap pemerintah.
Pendapatan perkapita Prefektur
Oita saat itu sangat rendah, gap pendapatan perkapita antara Tokyo dan Oita
sangat lebar. Upaya meningkatkan pendapatan penduduk dan membangkitkan tingkat
keyakinannya inilah disebut masyarakat berorientasi Gross National Product (GNP).
Pada saat yang sama Gubernur Hiramatsu berusaha mewujudkan masyarakat dimana
orang-orang tua merasa nyaman, kaum muda dapat mengekspresikan pentingnya
posisi mereka, dan secara umum rakyat dapat menghasiikan kekhasannya termasuk
di dalamnya masalah budaya dan wisata sampai di pedesaan. Inilah disebut masyarakat
yang berorientasi pada kepuasan, Gross
National Satisfaction (GNS).
Gagasan yang timbul kemudian
adalah kombinasi antara pemahaman dan pemilihan potensi produk daerah berikut
karakter sosial ekonomi masyarakat di satu sisi dengan komitmen dan
keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan produk unggulan guna
keperluan pasar domestik dan global. Aktivitas pembangunan yang dilakukan
kemudian lebih menggunakan pendekatan endogenus melalui pemanfaatan potensi
sumberdaya lokal (ekonomi, budaya dan spiritual) secara penuh.
Kegiatan pengembangan yang
dilakukan tidak dalam porsi besar di seluruh kawasan. Proyek-proyek yang
dikembangkan berskala kecil dengan modal serta sumber daya yang terbatas.
Masyarakat mengembangkan daerahnya melalui pengembangan industri semi-sekunder
yang diantaranya menghasilkan makanan olahan dan berbagai produk lainnya yang
secara umum sebagai hasi olahan produk pertanian (produk industri primer).
lnilah merupakan semangat Gerakan “One
Village One Product”. Melalui cara ini, slogan yang digunakan di
Prefektur Oita: “Concurrent
Advancement of Both Agriculture and Industry” menjadi sangat relevan.
Demi mendorong upaya pembangunan endogenus ini peran Gubernur Hiramatsu sangat
sentral dalam menarik industri besar sekelas seperti Nippon Steel Co. Ltd dan Canon Inc. berinvestasi di
Prefektur Oita. Industri besar seperti ini dilokalisasi di kota-kota perbatasan
atau di kota-kota yang lebih besar sehingga menarik perkembangan pertanian di
sekitarnya.
Dengan menunjukkan kesuksesan,
upaya ini secara pasti mampu menjadi lokomotif pembangunan yang mantap dan
berkelanjutan. Diantara produk-produk yang kemudian terkenal dan Oita seperti donko shiitake (sejenis jamur), kabosu, greenhouse dan japanese barley scotch (sejenis
minuman keras).
Sinergitas
Kegiatan
Departemen Perindustrian merealisasikan
Gerakan OVOP mulai tahun 2008 agar IKM/UKM dapat berkembang dan masuk ke
pasaran produk yang Iebih luas. Langkah ini disusun bersama-sama dengan unsur pemerintaha
terkait lainnya seperti Departemen Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM,
Deptan, Bappenas, BPPT, Menko Perekonomian, Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) dan Depdagri.
Depperin telah memetakan beberapa
sentra pengembangan pada 80 kabupaten yang secara infrastruktur lebih siap
seperti di di Jawa, Bali, NTB, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Kompas,
270208). Sirup markisa dari Gowa, rumput laut (Sumbawa), batik (Pekalongan),
mebel kayu (Sumedang), kerajinan kulit (Magetan), tas (Sidoarjo) adalah
beberapa contoh produk dan daerah yang yang telah dipetakan. Dana senilai Rp
58,2 miliar akan dikucurkan terutama untuk peralatan kerja dan peatihan. Syarat
produk yang dapat direkomendasikan dalam pengembangan OVOP menyangkut
homogenitas produk, lokasi, akses jalan, tata ruang serta komitmen Pemda.
Pengusulan daerah yang berniat
mengembangkan OVOP akan dilakukan dengan mekanisme bottom up. Depperin
selanjutnya akan menyeleksi lokasi tersebut menggunakan beberapa kriteria
seperti keunikan khas budaya dan keaslian lokal/originalitas), mutu dan
tampilan produk, potensi pasar yang terbuka di dalam dan di luar negeri serta
kontinuitas dan konsistensi produksi yang didukung sumber daya lokal.
Di lingkup ASEAN sendiri, SEAFDEC (South East Asia Fisheries Development
Center) tak ketinggalan menginisiasi sebuah proyek “Promotion of One Village, One Fisheries
Products (FOVOP) System
to Improve the Livelihood for the Fisheries Communities in ASEAN Region”
mulai akhir tahun 2007. Proyek berdurasi 2 tahun ini berisi kegiatan-kegiatan
sosialisasi dan penyiapan modul OVOP lingkup Negara negara ASEAN. Hal menarik
dalam proyek ini adalah outreach (jangkauan)
kegiatan yang lebih menitikberatkan peran perempuan dalam pengembangan Gerakan
OVOP. Diharapkan proyek ini dapat menjadi inspirasi dalam mengembangkan
kemandirian masyaraat pengolah dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya.
Sebagai negeri dengan kekayaan alam yang melimpah, tiap
daerah di Indonesia tentu memiliki berbagai produk lokal yang menjadi unggulan.
Bila diproduksi dan dipasarkan dengan baik, hal ini akan menyokong perbaikan
kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Inilah yang menjadi inti gerakan
One Village, One Product (OVOP).
Mencontoh Jepang
Gerakan OVOP ini dipopulerkan oleh Prefektur Oita di
Jepang pada tahun 1979. Saat itu, Gubernur Morihiko Hiramatsu meminta tiap desa
untuk memilih produk-produk unggulan. Produk yang dipilih harus mampu bersaing
untuk mendapat keuntungan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Hingga kini,
sekitar 300 produk telah diproduksi oleh masyarakat setempat. Di antaranya
adalah produk-produk unggulan ekspor Jepang seperti jamur shiitake, daging
sapi, dan gandum shochu. Program ini kemudian diadaptasi oleh negara Asia
lainnya seperti Taiwan dan Thailand.
Memasarkan Produk Lokal
Di Indonesia,
OVOP telah dimulai pada tahun 2007 dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No.
6 Tahun 2007. Program ini mengangkat produk-produk lokal yang telah diproduksi
secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Juga, telah menyatu dengan
budaya masyarakat.
Misalnya, produk sayur-mayur yang
menjadi unggulan dari Bali, terutama daerah Badung dan Bangli. Produk ini
kemudian dipasarkan dengan lebih baik lagi sehingga bisa mencapai pasar yang
lebih luas. Sebelumnya, produk ini harus mengalami pengembangan dan peningkatan
kualitas. Tujuannya, supaya dapat bersaing dengan produk sejenis yang diimpor
dari luar negeri.
Peran Koperasi
Satu badan yang
memegang peran penting dalam program ini adalah koperasi. Koperasi telah
dikenal sebagai badan ekonomi yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan.
Koperasi juga merupakan badan ekonomi paling ideal untuk mengelola usaha kecil
dan menengah (UKM). Oleh karena itu, dalam OVOP, setiap bentuk pengembangan
produk lokal ini pun dikelola oleh koperasi. Contohnya, tahun ini, Koperasi
Unit Desa (KUD) di daerah Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur akan memulai pengembangan budi daya kedelai.
“Tiap provinsi akan ditangani oleh lima KUD, masing-masing
mengelola 10 hektare,” ujar Bapak Braman Setyo, Deputi Bidang Produksi
Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan demikian, total luas wilayah budi daya
kedelai ini akan mencapai 200 hektare. “Pengelolaan oleh KUD ini mengoptimalkan
peran koperasi dalam program ketahanan pangan nasional dan menyejahterakan
masyarakat setempat,” tambah beliau.
Pemerintah akan membantu kelancaran
akses pemasaran dengan mengundang peritel besar.Program one village one product
(OVOP) yang telah berhasil dikembangkan di beberapa negara Asia seperti Jepang
dan Taiwan kini dicanangkan sebagai gerakan nasional di Indonesia.Wakil
Presiden Boediono telah mencanangkan gerakan OVOP, Sabtu (14/11) lalu di Nusa
Dua, Bali.
Kekuatan ekonomi Indonesia yang
selama ini banyak tersembunyi di perdesaan diharapkan bisa terangkat dengan
program satu desa satu produk ini.
Boediono menyatakan saat ini
masih diperlukan penelitian mendalam mengenai produk apa yang cocok untuk satu
desa. "Apakah produksi kerajinan tangan atau agroindustri. Jangan sampai
kita sudah bikin produk bagus, tapi tidak ada pasarnya," ujar Boediono
saat seminar internasional OVOP.
Program OVOP sendiri sebetulnya
sudah mulai dilakukan Kementerian Negara Koperasi dan UKM sejak tahun lalu. Beberapa
desa di Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Bali telah dijadikan daerah percontohan.
Kementerian dalam halini memberikan pembinaan dan pendampingan mulai proses
produksi hingga pemasaran dan distribusi.
"Kami sudah mulai mendorong
penciptaan produk di tiap daerah yang bisa menjadi unggulan dalam percaturan
global. Itu bisa dilakukan karena Indonesia sebetulnya punya sumber daya,
talenta ekonomi, dan produk yang punya competitive advantage," terang
Menteri Negara Koperasi dan UKM Sy Jii I Hasan.
Syarif meyakini bila setiap
daerah atau desa fokus mengembangkan produk yang memang benar-benar unggul,
baik dari sisi kualitas maupun pemenuhan produksi, visi program OVOP untuk
menciptakan produk lokal bereputasi global akan mudah dicapai.
OVOP yang mengandung semangat
pemberdayaan masyarakat desa itu memang sangat mengandalkan usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) serta koperasi sebagai ujung tombak. Namun, seperti yang
terjadi selama ini, UMKM kerap terhambat permasalahan klasik, yaitu adanya
kesenjangan pemasaran. Produk yang sudah bagus sering kali tidak bisa
dijual-atau kalaupun bisa terjual dihargai murah-karena para pengusaha kecil
ini tidak mempunyai akses yang cukup untuk memasarkannya. Gubernur Bali I Made
Mangku Pastika mengeluhkan hal itu.
Produk yang bisa dikategorikan
unggulan saja, seperti kopi luwak yang dihasilkan koperasi serbausaha di
Bangli, hanya mampu dijual dengan harga RpSOO ribu per kilogram. Padahal, di
pasar luar negeri kopi luwak dihargai sangat tinggi.Bahkan,bila disajikan dalam
bentuk minuman bisa mencapai ratusan ribu rupiah per cangkir. "Itu bukti
masih ada kesenjangan pemasaran untuk usaha koperasi," tukas Pastika.
Syarif berjanji akan membantu
kelancaran akses pemasaran dengan memperbanyak kegiatan promosi, termasuk
mengundang peritel besar untuk mengunjungi koperasi yang memiliki produk
unggulan.
Syarif mengingatkan kepada pelaku
koperasi dan UKM bahwa tanpa kualitas dan tampilan {packaging) produk yang
menarik, meskipun akses pemasaran sudah dibuka lebar, belum tentu produk itu
akan langsung laku dan diminati pasar. Apalagi untuk masuk pasar internasional
mereka harus bersaing dengan produk-produk luar yang bermutu tinggi.
Potensi besar Pelopor konsep OVOP di
Jepang Mori-hiko Hiramatsu menyatakan Indonesia mempunyai potensi yang besar
sekali untuk pengembangan OVOP. "Produknya seperti buah-buahan, tanam.in
lokal, dan banyak lagi," kata Hir.imatsu.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono
mengatakan buah-buahan Indonesia terbukti memiliki daya saing tinggi dan sangat
disukai di mancanegara. Hal ini bisa dilihat dari naiknya angka ekspor buah
seiring meningkatnya produksi buah dalam kurun lima tahun terakhir.
Pada 2004 Indonesia mengekspor komoditas
buah sebesar 171.823 ton, dengan nilai US$100,16 juta. Pada 2008, volume ekspor
melambung hingga 323.889 ton dengan nilai USS234.
PENGERTIAN OVOP
* Satu Desa Satu Product
atau One Village One product adalah pendekatan pengembangan potensi daerah di
satu wilayah unuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik khas daerah
denga memanfatkan sumber daya lokal.
* Satu desa sbagaimana
dmaksud dapat dperluas menjadi kecamatan, kabupaten/kota, maupun kesatuan
wilayah lainnya sesuai dengan potensi dan skala usaha secara ekonomis.
TUJUAN OVOP
Untuk menggali dan mempromosikan produk
inovatif dan kreatif lokal, dari sumber daya, yang bersifat unik khas daerah,
bernilai tambah tinggi, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, memiliki
image dan daya saing yang tinggi.
KRITERIA PRODUK
1. Produk unggulan
daerah dan/atau produk kompetensi inti daerah
2. Unik khas budaya dan
keaslian lokal
3. Berpotensi pasar
domestik dan ekspor
4. Bermutu dan
berpenampilan baik
5. Diproduksi secara
kontinyu dan konsisten
LINGKUP PRODUK
1. Produk makanan olahan
berbasis hasil pertanian dan perkebunan
2. Produk aneka minuman
dari hasil pengolahan hasil pertanian dan perkebunan
3. Produk hasil tenun
atau konveksi khas masyarakat lokal
4. Produk kebutuhan
rumah tangga termasuk produk dekoratif atau interior
5. Produk barang seni
dankerajinan termasuk produk cinderamata
Produk herbal dan minyak
atsiri khas masyarakat lokal
Contoh Desa One Village One Product
Bupati RY Program "One
Vilage One Product" Diperkuat
Bupati Bogor Rachmat Yasin,
mengatakan dirinya akan meng-galakan kembali program satu desa satu produk atau
One village one product, di wilayah Kabupaten Bogor. Hal tersebut
disampaikannya dalam acara Rapat Koordinasi Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) di Gedung Serbaguna II Komplek Perkantoran Pemkab Bogor baru-baru ini.
Saya rindu ketika masa orde baru,
wilayah kita memiliki kejayaan dengan berswaserobada beras, mari kita bangun
lagi dengan program satu desa, satu prodak"ungkapnva.
Rapat Koordinasi yang diselenggarakan
di Gedung Serbaguna D Setda Kabupaten Bogor yang dihadiri oleh Kepala SKPD se-
Kabupaten Bogor, Para Camat, Petugas Pertanian serta Mitra tani untuk
meningkatkan pengadaan beras di Kabupaten Bogor dalam rangka merevitalisasi
pertanian. Bupati Bogor H Rachmat Yasin dalam sambutannya mengatakan, Untuk
meningkatkan produksi beras, kita juga harus meningkatkan kesejahteraan petani.
Selain itu, Pemerintah jangan hanya memberikan instruksi danperintah saja
dengan melakukan penyuluhan, penyampaian, atau sosialisasi saja tapi petani
menginginkan sebuah contoh nyata untuk mengimplementasikan program
tersebut," ujarnya.
Dalam acara tersebut RY
mengutarakan untuk membuat Pilot Project yaitu membuat pabrik beras dengan
pertimbangan adanya ketersediaan air konstan. "Semoga tahun 2012 Kabupaten
Bogor harus punya Pabrik Beras di kecamatan semoga dapat terlaksana di
lokasi-lokasi yang luas lahan pertaniannya seperti Tenjolaya, Ciseeng, Cijeruk,
Cariu, dan Tanjung sari," ungkapnya.
Dengan adanya BP4K dan Dinas
Pertanian semoga dapat membantu para petani untuk memajukan kesejahteraan di
bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
Sementara itu masih
dalam acara Rakor Koordinasi Peningkatan Produksi Beras Nasional ini Bupati
Bogor memperingatkan kepada para camat se-Kabupaten Bogor harus peduli kepada
ketahanan pangan karena camat disini berperan sebagai pemimpin koordinator
pertanian,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar