Jumat, 12 April 2013

Gerakan One Village One Product


One Village One Product Movement (Gerakan OVOP) pertama kali dicetuskan oleh Morihiko Hiramatsu saat menjabat sebagai Gubernur Prefektur Oita di timur laut Pulau Kyushu. Masa jabatannya di Oita selama 6 periode (1979-2003) benar-benar digunakan untuk mengentaskan kemiskinan warganya dengan menerapkan konsepsi pembangunan wilayah hasil buah pikirannya itu.
 
Gerakan OVOP kemudian secara pesat memberikan kontribusi sangat besar bagi pengembangan regional di Prefektur Oita. Kegiatan ini bertujuan untuk  mengembangkan produk yang diterima global dengan tetap memberikan keistimewaan pada invensi nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat. Sampai pada tahun 2002, Prefektur Oita yang terdiri dan 11 kota dan 47 kabupaten, telah mengembangkan 336 jenis produk OVOP. Pendapatan asli daerah pun meningkat dan 36 miliar yen menjadi 141 miliar yen. Prefektur Oita juga menjadi magnet bagi 10 juta wisatawan  yang berkunjung per tahun dengan 3.8 juta wisatawan - termasuk studi banding petani/pejabat dan negara berkembang - mengunjungi Kota Yufuin, sebagai kota pelopor Gerakan OVOP.
          Gerakan OVOP telah diperkenalkan dan diaplikasikan secara meluas di seluruh dunia. Beberapa contoh kegiatan yang mengadaptasi konsep OVOP tampak dalam tabel berikut:
 
No.
Kegiatan
Negara
Contoh Produk
1
One Factory One Product
China
Kerajinan kayu
2
One Barangay One Product
Philipina
-
3
Satu Kampung Satu Produk Movement
Malaysia
-
4
One Tambon One Product Movement
Thailand
hasil laut
5
One Village One Product a Day
USA
-
6
One Village One Product
Malawi
jamur
 
Pendekatan Endogenus & Gross National Satisfaction (GNS)

         Sejatinya Gerakan One Village One Product adalah upaya mereduksi jurang pemisah kegiatan pembangunan di kota dan pedesaan dengan mengembangkan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal. Gubernur Hiramatsu mengamati betapa daya tarik pembangunan di perkotaan menjadi magnet penarik bagi penduduk perdesaan sehingga desa menjadi sepi dan kehilangan vitalitas kegiatan ekonomi. Ia kemudian berupaya menghidupkan kembali vitalitas kehidupan perdesaan lewat kegiatan ekonomi yang sesuai skala dan ukuran perdesaan tanpa ketergantungan tinggi terhadap pemerintah.
         Pendapatan perkapita Prefektur Oita saat itu sangat rendah, gap pendapatan perkapita antara Tokyo dan Oita sangat lebar. Upaya meningkatkan pendapatan penduduk dan membangkitkan tingkat keyakinannya inilah disebut masyarakat berorientasi Gross National Product (GNP). Pada saat yang sama Gubernur Hiramatsu berusaha mewujudkan masyarakat dimana orang-orang tua merasa nyaman, kaum muda dapat mengekspresikan pentingnya posisi mereka, dan secara umum rakyat dapat menghasiikan kekhasannya termasuk di dalamnya masalah budaya dan wisata sampai di pedesaan. Inilah disebut masyarakat yang berorientasi pada kepuasan, Gross National Satisfaction (GNS).
       Gagasan yang timbul kemudian adalah kombinasi antara pemahaman dan pemilihan potensi produk daerah berikut karakter sosial ekonomi masyarakat di satu sisi dengan komitmen dan keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan produk unggulan guna keperluan pasar domestik dan global.  Aktivitas pembangunan yang dilakukan kemudian lebih menggunakan pendekatan endogenus melalui pemanfaatan potensi sumberdaya lokal (ekonomi, budaya dan spiritual) secara penuh.
        Kegiatan pengembangan yang dilakukan tidak dalam porsi besar di seluruh kawasan. Proyek-proyek yang dikembangkan berskala kecil dengan modal serta sumber daya yang terbatas. Masyarakat mengembangkan daerahnya melalui pengembangan industri semi-sekunder yang diantaranya menghasilkan makanan olahan dan berbagai produk lainnya yang secara umum sebagai hasi olahan produk pertanian (produk industri primer). lnilah merupakan semangat Gerakan “One Village One Product”.  Melalui cara ini, slogan yang digunakan di Prefektur Oita: “Concurrent Advancement of Both Agriculture and Industry” menjadi sangat relevan. Demi mendorong upaya pembangunan endogenus ini peran Gubernur Hiramatsu sangat sentral dalam menarik industri besar sekelas seperti Nippon Steel Co. Ltd dan Canon Inc. berinvestasi di Prefektur Oita. Industri besar seperti ini dilokalisasi di kota-kota perbatasan atau di kota-kota yang lebih besar sehingga menarik perkembangan pertanian di sekitarnya.
        Dengan menunjukkan kesuksesan, upaya ini secara pasti mampu menjadi lokomotif pembangunan yang mantap dan berkelanjutan. Diantara produk-produk yang kemudian terkenal dan Oita seperti donko shiitake (sejenis jamur), kabosu, greenhouse dan japanese barley scotch (sejenis minuman keras). 
 
Sinergitas Kegiatan 
       Departemen Perindustrian merealisasikan Gerakan OVOP mulai tahun 2008 agar IKM/UKM dapat berkembang dan masuk ke pasaran produk yang Iebih luas. Langkah ini disusun bersama-sama dengan unsur pemerintaha terkait lainnya seperti Departemen Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Deptan, Bappenas, BPPT, Menko Perekonomian, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Depdagri.
        Depperin telah memetakan beberapa sentra pengembangan pada 80 kabupaten yang secara infrastruktur lebih siap seperti di di Jawa, Bali, NTB, Sumatera Utara dan Sumatera Barat (Kompas, 270208). Sirup markisa dari Gowa, rumput laut (Sumbawa), batik (Pekalongan), mebel kayu (Sumedang), kerajinan kulit (Magetan), tas (Sidoarjo) adalah beberapa contoh produk dan daerah yang yang telah dipetakan. Dana senilai Rp 58,2 miliar akan dikucurkan terutama untuk peralatan kerja dan peatihan. Syarat produk yang dapat direkomendasikan dalam pengembangan OVOP menyangkut homogenitas produk, lokasi, akses jalan, tata ruang serta komitmen Pemda.
       Pengusulan daerah yang berniat mengembangkan OVOP akan dilakukan dengan mekanisme bottom up. Depperin selanjutnya akan menyeleksi lokasi tersebut menggunakan beberapa kriteria seperti keunikan khas budaya dan keaslian lokal/originalitas), mutu dan tampilan produk, potensi pasar yang terbuka di dalam dan di luar negeri serta kontinuitas dan konsistensi produksi yang didukung sumber daya lokal.
        Di lingkup ASEAN sendiri, SEAFDEC (South East Asia Fisheries Development Center) tak ketinggalan menginisiasi sebuah proyek “Promotion of One Village, One Fisheries Products (FOVOP) System to Improve the Livelihood for the Fisheries Communities in ASEAN Region” mulai akhir tahun 2007. Proyek berdurasi 2 tahun ini berisi kegiatan-kegiatan sosialisasi dan penyiapan modul OVOP lingkup Negara negara ASEAN. Hal menarik dalam proyek ini adalah outreach (jangkauan) kegiatan yang lebih menitikberatkan peran perempuan dalam pengembangan Gerakan OVOP. Diharapkan proyek ini dapat menjadi inspirasi dalam mengembangkan kemandirian masyaraat pengolah dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya.
 
Sebagai negeri dengan kekayaan alam yang melimpah, tiap daerah di Indonesia tentu memiliki berbagai produk lokal yang menjadi unggulan. Bila diproduksi dan dipasarkan dengan baik, hal ini akan menyokong perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Inilah yang menjadi inti gerakan One Village, One Product (OVOP).
 
Mencontoh Jepang 
Gerakan OVOP ini dipopulerkan oleh Prefektur Oita di Jepang pada tahun 1979. Saat itu, Gubernur Morihiko Hiramatsu meminta tiap desa untuk memilih produk-produk unggulan. Produk yang dipilih harus mampu bersaing untuk mendapat keuntungan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Hingga kini, sekitar 300 produk telah diproduksi oleh masyarakat setempat. Di antaranya adalah produk-produk unggulan ekspor Jepang seperti jamur shiitake, daging sapi, dan gandum shochu. Program ini kemudian diadaptasi oleh negara Asia lainnya seperti Taiwan dan Thailand. 
 
Memasarkan Produk Lokal 
Di Indonesia, OVOP telah dimulai pada tahun 2007 dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007. Program ini mengangkat produk-produk lokal yang telah diproduksi secara turun-temurun oleh masyarakat setempat. Juga, telah menyatu dengan budaya masyarakat. 
Misalnya, produk sayur-mayur yang menjadi unggulan dari Bali, terutama daerah Badung dan Bangli. Produk ini kemudian dipasarkan dengan lebih baik lagi sehingga bisa mencapai pasar yang lebih luas. Sebelumnya, produk ini harus mengalami pengembangan dan peningkatan kualitas. Tujuannya, supaya dapat bersaing dengan produk sejenis yang diimpor dari luar negeri. 
 
Peran Koperasi
Satu badan yang memegang peran penting dalam program ini adalah koperasi. Koperasi telah dikenal sebagai badan ekonomi yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan. Koperasi juga merupakan badan ekonomi paling ideal untuk mengelola usaha kecil dan menengah (UKM). Oleh karena itu, dalam OVOP, setiap bentuk pengembangan produk lokal ini pun dikelola oleh koperasi. Contohnya, tahun ini, Koperasi Unit Desa (KUD) di daerah Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur akan memulai pengembangan budi daya kedelai. 
“Tiap provinsi akan ditangani oleh lima KUD, masing-masing mengelola 10 hektare,” ujar Bapak Braman Setyo, Deputi Bidang Produksi Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan demikian, total luas wilayah budi daya kedelai ini akan mencapai 200 hektare. “Pengelolaan oleh KUD ini mengoptimalkan peran koperasi dalam program ketahanan pangan nasional dan menyejahterakan masyarakat setempat,” tambah beliau.
           Pemerintah akan membantu kelancaran akses pemasaran dengan mengundang peritel besar.Program one village one product (OVOP) yang telah berhasil dikembangkan di beberapa negara Asia seperti Jepang dan Taiwan kini dicanangkan sebagai gerakan nasional di Indonesia.Wakil Presiden Boediono telah mencanangkan gerakan OVOP, Sabtu (14/11) lalu di Nusa Dua, Bali.
          Kekuatan ekonomi Indonesia yang selama ini banyak tersembunyi di perdesaan diharapkan bisa terangkat dengan program satu desa satu produk ini.

          Boediono menyatakan saat ini masih diperlukan penelitian mendalam mengenai produk apa yang cocok untuk satu desa. "Apakah produksi kerajinan tangan atau agroindustri. Jangan sampai kita sudah bikin produk bagus, tapi tidak ada pasarnya," ujar Boediono saat seminar internasional OVOP.
        Program OVOP sendiri sebetulnya sudah mulai dilakukan Kementerian Negara Koperasi dan UKM sejak tahun lalu. Beberapa desa di Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Bali telah dijadikan daerah percontohan. Kementerian dalam halini memberikan pembinaan dan pendampingan mulai proses produksi hingga pemasaran dan distribusi.
         "Kami sudah mulai mendorong penciptaan produk di tiap daerah yang bisa menjadi unggulan dalam percaturan global. Itu bisa dilakukan karena Indonesia sebetulnya punya sumber daya, talenta ekonomi, dan produk yang punya competitive advantage," terang Menteri Negara Koperasi dan UKM Sy Jii I Hasan.
         Syarif meyakini bila setiap daerah atau desa fokus mengembangkan produk yang memang benar-benar unggul, baik dari sisi kualitas maupun pemenuhan produksi, visi program OVOP untuk menciptakan produk lokal bereputasi global akan mudah dicapai.
      OVOP yang mengandung semangat pemberdayaan masyarakat desa itu memang sangat mengandalkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi sebagai ujung tombak. Namun, seperti yang terjadi selama ini, UMKM kerap terhambat permasalahan klasik, yaitu adanya kesenjangan pemasaran. Produk yang sudah bagus sering kali tidak bisa dijual-atau kalaupun bisa terjual dihargai murah-karena para pengusaha kecil ini tidak mempunyai akses yang cukup untuk memasarkannya. Gubernur Bali I Made Mangku Pastika mengeluhkan hal itu.

       Produk yang bisa dikategorikan unggulan saja, seperti kopi luwak yang dihasilkan koperasi serbausaha di Bangli, hanya mampu dijual dengan harga RpSOO ribu per kilogram. Padahal, di pasar luar negeri kopi luwak dihargai sangat tinggi.Bahkan,bila disajikan dalam bentuk minuman bisa mencapai ratusan ribu rupiah per cangkir. "Itu bukti masih ada kesenjangan pemasaran untuk usaha koperasi," tukas Pastika.
     Syarif berjanji akan membantu kelancaran akses pemasaran dengan memperbanyak kegiatan promosi, termasuk mengundang peritel besar untuk mengunjungi koperasi yang memiliki produk unggulan.
     Syarif mengingatkan kepada pelaku koperasi dan UKM bahwa tanpa kualitas dan tampilan {packaging) produk yang menarik, meskipun akses pemasaran sudah dibuka lebar, belum tentu produk itu akan langsung laku dan diminati pasar. Apalagi untuk masuk pasar internasional mereka harus bersaing dengan produk-produk luar yang bermutu tinggi.
    Potensi besar Pelopor konsep OVOP di Jepang Mori-hiko Hiramatsu menyatakan Indonesia mempunyai potensi yang besar sekali untuk pengembangan OVOP. "Produknya seperti buah-buahan, tanam.in lokal, dan banyak lagi," kata Hir.imatsu.
     Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengatakan buah-buahan Indonesia terbukti memiliki daya saing tinggi dan sangat disukai di mancanegara. Hal ini bisa dilihat dari naiknya angka ekspor buah seiring meningkatnya produksi buah dalam kurun lima tahun terakhir.
 Pada 2004 Indonesia mengekspor komoditas buah sebesar 171.823 ton, dengan nilai US$100,16 juta. Pada 2008, volume ekspor melambung hingga 323.889 ton dengan nilai USS234.
 
PENGERTIAN OVOP
* Satu Desa Satu Product atau One Village One product adalah pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah unuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik khas daerah denga memanfatkan sumber daya lokal.
 
* Satu desa sbagaimana dmaksud dapat dperluas menjadi kecamatan, kabupaten/kota, maupun kesatuan wilayah lainnya sesuai dengan potensi dan skala usaha secara ekonomis.
 
 
TUJUAN OVOP
      Untuk menggali dan mempromosikan produk inovatif dan kreatif lokal, dari sumber daya, yang bersifat unik khas daerah, bernilai tambah tinggi, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, memiliki image dan daya saing yang tinggi.
 
 
KRITERIA PRODUK
1. Produk unggulan daerah dan/atau produk kompetensi inti daerah
2. Unik khas budaya dan keaslian lokal
3. Berpotensi pasar domestik dan ekspor
4. Bermutu dan berpenampilan baik
5. Diproduksi secara kontinyu dan konsisten
 
 
LINGKUP PRODUK
 
1. Produk makanan olahan berbasis hasil pertanian dan perkebunan
 
2. Produk aneka minuman dari hasil pengolahan hasil pertanian dan perkebunan
 
3. Produk hasil tenun atau konveksi khas masyarakat lokal
 
4. Produk kebutuhan rumah tangga termasuk produk dekoratif atau interior
 
5. Produk barang seni dankerajinan termasuk produk cinderamata
 
Produk herbal dan minyak atsiri khas masyarakat lokal
 

Contoh Desa One Village One Product
Bupati RY Program "One Vilage One Product" Diperkuat
Bupati Bogor Rachmat Yasin, mengatakan dirinya akan meng-galakan kembali program satu desa satu produk atau One village one product, di wilayah Kabupaten Bogor. Hal tersebut disampaikannya dalam acara Rapat Koordinasi Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di Gedung Serbaguna II Komplek Perkantoran Pemkab Bogor baru-baru ini.
Saya rindu ketika masa orde baru, wilayah kita memiliki kejayaan dengan berswaserobada beras, mari kita bangun lagi dengan program satu desa, satu prodak"ungkapnva.
Rapat Koordinasi yang diselenggarakan di Gedung Serbaguna D Setda Kabupaten Bogor yang dihadiri oleh Kepala SKPD se- Kabupaten Bogor, Para Camat, Petugas Pertanian serta Mitra tani untuk meningkatkan pengadaan beras di Kabupaten Bogor dalam rangka merevitalisasi pertanian. Bupati Bogor H Rachmat Yasin dalam sambutannya mengatakan, Untuk meningkatkan produksi beras, kita juga harus meningkatkan kesejahteraan petani. Selain itu, Pemerintah jangan hanya memberikan instruksi danperintah saja dengan melakukan penyuluhan, penyampaian, atau sosialisasi saja tapi petani menginginkan sebuah contoh nyata untuk mengimplementasikan program tersebut," ujarnya.
Dalam acara tersebut RY mengutarakan untuk membuat Pilot Project yaitu membuat pabrik beras dengan pertimbangan adanya ketersediaan air konstan. "Semoga tahun 2012 Kabupaten Bogor harus punya Pabrik Beras di kecamatan semoga dapat terlaksana di lokasi-lokasi yang luas lahan pertaniannya seperti Tenjolaya, Ciseeng, Cijeruk, Cariu, dan Tanjung sari," ungkapnya.
Dengan adanya BP4K dan Dinas Pertanian semoga dapat membantu para petani untuk memajukan kesejahteraan di bidang pertanian, peternakan dan perikanan.
Sementara itu masih dalam acara Rakor Koordinasi Peningkatan Produksi Beras Nasional ini Bupati Bogor memperingatkan kepada para camat se-Kabupaten Bogor harus peduli kepada ketahanan pangan karena camat disini berperan sebagai pemimpin koordinator pertanian, 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar